Medan (LN) — Laporan polisi yang semestinya menjadi jalan mencari keadilan, justru berubah menjadi ladang permainan bagi oknum aparat. Itulah yang kini dirasakan Firman Chaniago, korban pembakaran kios di Jalan Datuk Kabu Pasar 3 Tembung, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.
Sudah lebih dari setahun, laporannya di Polrestabes Medan tak kunjung menunjukkan titik terang.
Kasus dengan nomor laporan LP/B/1852/VII/2024/SPKT/Polrestabes Medan/Polda Sumut itu kini diduga kuat “dipetieskan” di meja penyidik. Padahal, bukti, saksi, hingga petunjuk digital telah dikumpulkan sejak awal.
“Sudah lengkap semua. Saksi sudah diperiksa, barang bukti ada, bahkan konfrontasi sudah dilakukan dua kali. Tapi sampai sekarang, pelaku masih bebas berkeliaran. Saya curiga, kasus ini memang sengaja digantung,” ujar Firman Chaniago, (29/10/2025).
Dugaan Uang Pelicin
Kecurigaan itu bukan tanpa alasan. Firman mengaku, penyidik yang menangani perkaranya, Brigadir P.H. Pasaribu, sempat meminta uang Rp1 juta agar proses penyidikan “lebih cepat” berjalan.
Uang itu, katanya, telah diserahkan. Namun kecepatan yang dijanjikan tak pernah datang.
“Dia (penyidik) bilang, ‘bantu-bantu biar cepat’. Saya kasih Rp1 juta. Tapi setelah itu, kasus malah diam. Tidak ada kabar, tidak ada perkembangan. Saya seperti dibodohi,” tegas Firman.
Padahal menurut Firman, penyidik sudah sempat menemukan arah kuat kepada terduga pelaku pembakaran. Petunjuk percakapan WhatsApp, keterangan saksi, serta hasil pemeriksaan lapangan seharusnya sudah cukup untuk menetapkan tersangka.
Namun, alih-alih bergerak, penyidik justru disebut meminta konfrontasi ulang, seolah berupaya memperpanjang waktu tanpa alasan jelas.
Upaya Penutupan dan Campur Tangan Internal
Menariknya, setelah Firman melaporkan dugaan pungli tersebut ke Paminal Propam Polda Sumut, muncul manuver yang janggal.
Kasat Reskrim Polrestabes Medan, AKBP Bayu Putro Wijayanto, tiba-tiba memanggil Firman ke ruangannya dan menawarkan untuk mengembalikan uang Rp1 juta yang telah diserahkan kepada penyidik.
“Saya diminta datang, katanya mau dikembalikan uangnya. Tapi saya tolak, karena saya sudah lapor ke Paminal. Kalau saya ambil, berarti saya ikut menutupi. Ini bukan soal uang, tapi soal keadilan dan penyalahgunaan wewenang,” ungkap Firman.
Langkah Firman melapor ke Propam semestinya menjadi alarm bagi internal Polri. Namun, hingga kini tidak ada kejelasan hasil pemeriksaan terhadap laporan dugaan pungli itu. Sementara kasus pembakaran kios tetap berjalan di tempat.
Diamnya Kapolrestabes dan Bantahan Penyidik
Konfirmasi yang dikirim awak media kepada Kapolrestabes Medan Kombes Jean Calvijn Simanjuntak pada 29 Oktober 2025 tak mendapat tanggapan.
Sementara penyidik yang disebut, Brigadir P.H. Pasaribu, membantah keras tudingan menerima uang tersebut.
“Saya tidak ada menerima, bisa abang buktikan,” ujarnya singkat melalui telepon WhatsApp.
Namun, di lapangan, banyak pihak menduga ada upaya “pengaburan” fakta. Beberapa pedagang sekitar lokasi kios mengaku pernah melihat aktivitas mencurigakan pascakejadian, namun belum pernah dipanggil untuk dimintai keterangan tambahan.
Cermin Buram Penegakan Hukum
Kasus ini menjadi potret buram wajah penegakan hukum di daerah. Dugaan “jual-beli keadilan” yang terjadi di ruang penyidik memperlihatkan bagaimana korban justru dijadikan komoditas oleh oknum aparat yang seharusnya melindungi.
Pengamat hukum Mahdiyal, menilai kasus ini harus menjadi prioritas evaluasi Propam Mabes Polri, bukan sekadar di tingkat daerah.
“Jika laporan ini benar, maka yang dipertaruhkan bukan hanya citra Polrestabes Medan, tapi juga kredibilitas Polri secara nasional. Penyidik yang memperjualbelikan perkara harus diseret ke meja etik dan pidana,” tegasnya.
Kasus Firman Chaniago kini menjadi simbol perlawanan kecil rakyat terhadap sistem hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah.
Selama keadilan masih bisa dinegosiasikan dengan uang, hukum tidak akan pernah berpihak kepada korban — hanya kepada yang mampu membeli.
#red



Tidak ada komentar:
Posting Komentar