Tanah Datar (LN) — Lonjakan harta kekayaan Ten Feri, eks. Kadis PUPR Kabupaten Tanah Datar dinilai tidak wajar. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, dari posisi minus ratusan juta menjadi lebih dari Rp2,48 miliar pada tahun 2024.
Baca berita sebelumnya :
Temuan ini menimbulkan dugaan kuat adanya penerimaan gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan strategis yang pernah dan sedang dipegangnya, termasuk saat menjabat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kepala Bidang, hingga Kepala Dinas yang mengelola anggaran infrastruktur bernilai besar.
Lonjakan Kekayaan Tidak Wajar dalam Waktu Singkat
Berdasarkan rekapitulasi LHKPN menunjukkan tren berikut:
- Pada tahun 2014: –Rp 264.213.000
- Tahun 2018: –Rp 327.943.000
- Tahun 2019: Rp 697.247.500 → Naik 313%
- Tahun 2020: Rp 1.752.673.026 → Naik 151%
- Tahun 2023: Rp 2.180.681.173
- Tahun 2024: Rp 2.483.929.041
Dalam kurun hanya dua tahun, 2018–2020, kenaikan harta mencapai lebih dari Rp 2 triliun secara akumulatif jika dihitung dari kondisi defisit, suatu anomali yang tidak dapat dijelaskan dengan gaji ASN.
Jabatan yang Sarat Potensi Gratifikasi
Dalam rentang lonjakan harta tersebut, Ten Feri memegang jabatan-jabatan yang memiliki kewenangan besar terhadap pengelolaan proyek, antara lain:
- Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) : Mengendalikan penetapan pemenang tender, nilai kontrak, addendum, hingga pencairan termin.
- Kepala Bidang di Dinas Perkim : Mengurusi pembangunan pemukiman dan pengadaan terkait kawasan permukiman.
- Kepala Dinas PUPR Tanah Datar : Memimpin seluruh kegiatan pembangunan jalan, jembatan, irigasi, serta pengelolaan pengadaan bernilai besar.
Kewenangan yang luas tersebut identik dengan potensi gratifikasi berupa fee proyek, uang terima kasih, hingga setoran termin dari penyedia jasa.
Kajian Dugaan Gratifikasi
1. Kenaikan Tidak Proporsional dengan Pendapatan Sah. Gaji dan tunjangan pejabat eselon II tidak memungkinkan terjadinya lonjakan hingga miliaran rupiah dalam waktu singkat.
2. Lonjakan Bertepatan dengan Pengelolaan Proyek-Proyek Besar. Kenaikan paling drastis justru terjadi saat Ten Feri bertugas sebagai PPK dan Kepala Bidang—dua jabatan yang paling rawan menerima fee proyek.
3. Tidak Ada Penjelasan Wajar dalam LHKPN. Tidak terdapat laporan tambahan aset besar seperti tanah, rumah, atau usaha, sehingga memperkuat dugaan bahwa peningkatan bersumber dari penerimaan tidak sah yang dilaporkan sebagai uang kas atau simpanan.
4. Pola Umum Gratifikasi Sektor PUPR. Berdasarkan pola nasional, modus yang sering ditemukan adalah:
- potongan 5–10% dari nilai proyek,
- fee addendum pekerjaan,
- fee pencairan termin,
- setoran dari kontraktor setelah penetapan pemenang tender.
Pola ini sejalan dengan jabatan yang dipegang Ten Feri dalam periode tersebut.
Upaya Konfirmasi: Tidak Ditanggapi
Sebagai bentuk keberimbangan pemberitaan, redaksi telah menyampaikan permintaan konfirmasi resmi kepada Ten Feri melalui pesan WhatsApp pada nomor kontak yang bersangkutan. Hingga berita ini dipublikasikan, yang bersangkutan belum memberikan jawaban, klarifikasi, maupun tanggapan apa pun terhadap pertanyaan yang disampaikan.
Tidak adanya respons ini membuat publik kian mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas pejabat publik dalam menyikapi temuan yang berkaitan dengan integritas.
Seruan Audit dan Verifikasi LHKPN
Melalui temuan ini, sejumlah pihak menilai perlu adanya: audit mendalam terhadap LHKPN Ten Feri oleh KPK, dilakukannya penelusuran rekening pribadi dan keluarga, pemeriksaan proyek-proyek yang dikelolanya, verifikasi sumber penambahan harta, serta klarifikasi terbuka kepada publik.
Peningkatan kekayaan yang tidak wajar selalu menjadi indikator awal dugaan tindak pidana korupsi, gratifikasi, ataupun penerimaan lain yang tidak sah.
#TIM



Tidak ada komentar:
Posting Komentar