Padang Pariaman (LN) – Ketika warga masih mengangkat perabot dari genangan lumpur, membersihkan rumah yang rusak, dan menahan haru kehilangan harta benda akibat banjir, sejumlah anggota Komisi I dan Komisi IV DPRD Padang Pariaman justru memilih berangkat kunjungan kerja (kunker) ke Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Langkah ini langsung memicu gelombang kritik, dinilai tidak sensitif, tidak berempati, dan jauh dari prioritas kebutuhan masyarakat.
Bencana yang melanda tiga hingga empat kecamatan di Padang Pariaman bukan peristiwa kecil. Rumah-rumah terendam, akses lumpuh, fasilitas publik rusak parah, dan ribuan warga masih membutuhkan perhatian. Namun, alih-alih berdiri bersama masyarakat di garis depan pemulihan, sebagian wakil rakyat justru “menghilang” ke luar daerah dalam agenda yang bisa saja ditunda.
Kunker yang Tetap Jalan Meski Warga Menderita
Ketua Komisi IV DPRD Padang Pariaman, Afredison, berdalih bahwa jadwal kunker telah disusun jauh hari sehingga tidak mungkin dibatalkan.
“Kegiatannya sudah terjadwal sejak awal. Tidak mungkin kami batalkan begitu saja,” katanya.
Pernyataan ini dianggap publik sebagai alasan yang kurang berpihak pada kondisi daerah. Jika masyarakat bisa menunda kegiatan demi keselamatan dan pemulihan, mengapa wakil rakyat tidak bisa?
Apalagi, kunjungan kerja ini bukanlah agenda darurat atau menyangkut keselamatan warga. Ini murni agenda rutin—namun dilaksanakan saat Padang Pariaman sedang tertatih.
Saat Warga Berjuang, Wakil Rakyat Justru Bertemu Pejabat Sleman
Rombongan DPRD disambut secara resmi oleh pejabat Pemkab Sleman dan berdiskusi tentang penyaluran bansos serta pengelolaan tenaga P3K paruh waktu. Sementara di rumah sendiri, warga bergelut dengan lumpur dan kehilangan.
Kontrasnya situasi ini memicu kemarahan sebagian masyarakat. Foto-foto warga membersihkan rumah dan antre bantuan di Padang Pariaman menjadi latar ironi atas kunjungan yang dianggap tidak peka situasi.
Respons DPRD Dinilai Tidak Menyentuh Inti Masalah
Afredison menegaskan bahwa BPBD, pemerintah kabupaten, dan pemerintah pusat sudah bekerja sehingga kunker tidak mengganggu penanganan.
Namun publik menilai pernyataan itu mengaburkan fakta: kehadiran moral dan politik DPRD sangat diperlukan di tengah bencana. Pengawasan anggaran, percepatan pendistribusian bantuan, hingga dukungan psikologis untuk warga adalah peran penting parlemen dalam masa krisis—bukan sekadar formalitas.
Pertanyaan Publik: Empati di Mana? Prioritas Siapa?
Keberangkatan ini menghadirkan sejumlah pertanyaan tajam dari publik:
- Mengapa kunjungan rutin lebih penting daripada kehadiran di daerah bencana?
- Apakah DPRD benar-benar memahami beratnya kerugian yang dialami warga?
- Apakah “jadwal lama” lebih utama daripada penderitaan rakyat yang diwakili?
- Jika kegiatan di Sleman tidak ditunda, apa urgensinya bagi kondisi darurat di Padang Pariaman?
Ketika masyarakat berharap wakilnya berdiri di garda terdepan dalam masa sulit, yang terjadi justru sebaliknya: sebagian memilih berada ratusan kilometer dari lokasi musibah.
Saat Daerah Berduka, Wakil Rakyat Seharusnya Turun ke Lapangan—Bukan Mengikuti Agenda Kenyamanan
Bencana bukan hanya soal lumpur dan air, tapi juga soal kepercayaan publik. Dan dalam kejadian ini, banyak warga merasa kepercayaan itu sedang diuji.
Kunjungan kerja boleh jadi sah secara administrasi, tetapi secara moral, waktu keberangkatan ini dinilai paling tidak tepat. Di tengah duka dan kelelahan warga, langkah DPRD Padang Pariaman justru menimbulkan kesan bahwa prioritas mereka tidak berada bersama rakyat.
#LN01




Tidak ada komentar:
Posting Komentar