Padang (LN) – Hari Jadi Sumatera Barat ke-80 pada 1 Oktober 2025 seharusnya menjadi momen refleksi bagi seluruh masyarakat. Namun kenyataan yang muncul justru ironi tajam: rakyat masih miskin, sementara sejumlah pejabat Pemprov Sumbar malah menumpuk harta kekayaan setiap tahunnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per Maret 2024 jumlah penduduk miskin di Sumbar masih mencapai 328,97 ribu jiwa atau 6,04 persen dari total penduduk. Angka ini hanya turun tipis dibanding 2023, yaitu 334,48 ribu jiwa (6,20 persen). Bahkan di wilayah perdesaan, kemiskinan cenderung stagnan hingga sedikit meningkat, menegaskan bahwa kesejahteraan masyarakat belum menyentuh sebagian besar rakyat.
Sementara itu, berdasarkan laporan LHKPN menunjukkan bahwa beberapa pejabat menikmati kenaikan harta secara konsisten, diantaranya :
- Kuartini Deti Putri (Biro Perekonomian): Rp1,21 miliar (2023) → Rp1,32 miliar (2024) (+9,59%)
- Novrial (Kadis Perdagangan): Rp4,31 miliar → Rp4,34 miliar (2024) (+0,83%)
- Dedy Diantolani (Kadis Perhubungan): Rp3,52 miliar → Rp3,76 miliar (2024) (+6,77%)
- Luhur Budianda Sy (Kadis PMPTSP): Rp2,24 miliar → Rp2,29 miliar (2024) (+2,49%)
- Lila Yanwar (Kadis Pariwisata): Rp6,60 miliar (2022) → Rp6,87 miliar (2024) (+4,04%)
- Syaifullah (Kepala Dinas Sosial): Rp772,63 juta (2022) → Rp1,00 miliar (2024) (+30,03%)
Fenomena ini menegaskan kritik publik: program dan kegiatan kesejahteraan masyarakat kerap dijadikan “ladang keuntungan” bagi pejabat, dijalankan bukan semata untuk meringankan beban rakyat, tetapi untuk menambah harta pribadi.
Apabila ditelusuri lebih jauh, laporan harta yang disampaikan beberapa pejabat diduga tidak sepenuhnya akurat. Indikasi ini muncul karena sejumlah aset atau properti yang dimiliki pejabat diduga belum dilaporkan atau disimpan secara terpisah, sehingga jumlah kekayaan riil bisa lebih tinggi dari yang tercatat.
“Rakyat masih kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, tapi pejabat terus menumpuk harta dari program yang seharusnya untuk kepentingan publik,” kata seorang pengamat sosial-politik di Padang.
Delapan dekade perjalanan Sumatera Barat seharusnya menjadi momen refleksi atas kemajuan yang merata. Sebaliknya, kenyataan menunjukkan ketimpangan mencolok antara harta pejabat yang meningkat dan kesejahteraan rakyat yang stagnan, membuat moto “Bersama membangun Sumatera Barat sejahtera dan maju” terdengar hampa, bahkan sinis bagi masyarakat bawah.
#red
Tidak ada komentar:
Posting Komentar