PADANG (LN) – Wali Kota Padang, Fadly Amran, belum lama ini menandatangani Surat Pernyataan Komitmen Antikorupsi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta (15/5/2025).
Langkah ini semestinya menjadi bukti keseriusan Pemko Padang dalam mendukung program Padang Amanah yang diusung bersama Wakil Wali Kota Maigus Nasir.
Namun, komitmen tersebut dipertanyakan. Sebab hingga kini, pejabat yang diduga kuat terlibat dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung DPRD Padang senilai Rp129,2 miliar justru masih aktif menjabat.
Sikap diam walikota Fadly Amran dan Maigus Nasir berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap kepemimpinannya.
Alih-alih menunjukkan ketegasan, keduanya dianggap membiarkan pejabat bermasalah tetap berkuasa, sehingga merusak citra pemerintahan yang amanah dan bersih dari korupsi.
Apabila setiap korupsi bisa ditebus dengan uang, tanpa ada sanksi tegas, maka efek jera hilang dan korupsi akan terus berulang.
Penandatanganan komitmen di KPK tentu membawa konsekuensi moral dan politik. Publik menunggu apakah Fadly Amran benar-benar berani menindaklanjuti dengan langkah konkret di Pemko Padang, atau sekadar menjadikan komitmen antikorupsi sebagai panggung seremonial belaka.
Karena sejatinya, komitmen antikorupsi tidak diukur dari tanda tangan di hadapan KPK, melainkan dari ketegasan kepala daerah dalam membersihkan lingkaran pejabatnya sendiri.
Sebagaimana diketahui, bahwa pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI mencatat adanya kerugian negara Rp2,2 miliar dalam proyek pembangunan Gedung DPRD Padang, yang dikerjakan PT Nindya Karya (Persero) bersama PT Artefak Arkindo sebagai manajemen konstruksi.
Meskipun kerugian itu telah dikembalikan secara bertahap hingga 25 Juli 2025, proses pengembalian jelas melewati tenggat 60 hari sesuai aturan. Hal ini menegaskan bahwa persoalan hukum tidak berhenti hanya dengan pengembalian kerugian.
Baca berita sebelumnya :
Bahkan, Ditreskrimsus Polda Sumbar juga telah melakukan pemanggilan kepada Kepala Dinas PUPR Kota Padang Tri Hadiyanto melalui surat resmi bernomor B/337/III/RES.3.3/2024/Ditreskrimsus.
Dan anehnya, perkembangan kasus ini sepertinya tidak jelas, sehingga memunculkan kecurigaan adanya permainan terhadap kasus tersebut.
Benarkah kasus korupsi ini telah Dipetieskan ?
Menanggapi persoalan itu, Aktifis anti korupsi Mahdiyal Hasan menegaskan bahwa Wali Kota seharusnya mengambil langkah nyata dengan mencopot pejabat yang terindikasi terlibat korupsi.
“Komitmen antikorupsi jangan hanya sebatas tanda tangan di KPK. Kalau wali kota serius, copot dulu pejabat yang sudah terbukti merugikan negara. Kalau tidak, publik wajar menilai semua ini hanya seremonial,” ujarnya.
Langkah konkret seperti nonaktifkan pejabat bermasalah dinilai jauh lebih penting daripada menambah janji-janji politik yang tidak diikuti tindakan nyata.
Jika walikota tidak mengambil tindakan, otomatis akan terjadi Krisis Kepercayaan ditengah masyarakat, ujarnya.
Selain itu, Mahdiyal meminta agar Polda Sumbar menunjukkan kinerja maksimal dengan mengusut kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung DPRD Padang.
“Publik mencatat bahwa surat pemanggilan terhadap Kepala Dinas PUPR Padang sudah dilayangkan sejak Maret 2024. Tapi sampai sekarang, kasus ini tidak jelas ujungnya. Ini menimbulkan kesan bahwa Ditreskrimsus Polda Sumbar mandul dan tidak serius menegakkan hukum,” tegas Mahdiyal.
Ia juga mengingatkan bahwa pengembalian kerugian negara sebesar Rp2,2 miliar tidak serta-merta menghapus unsur tindak pidana korupsi.
“Kalau Polda Sumbar hanya berhenti sampai kerugian dikembalikan, artinya mereka melupakan prinsip dasar hukum pidana. Korupsi itu bukan sekadar soal uang negara yang hilang, tapi soal kejahatan sistematis yang merusak tatanan pemerintahan,” lanjutnya.
Mahdiyal mendesak Polda Sumbar agar transparan dan berani menindak tegas siapapun yang terlibat, tanpa pandang bulu, termasuk jika ada pejabat yang mencoba melakukan intervensi.
Tunggu berita lanjutannya !
#LN01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar