Bukittinggi (LN) — Peningkatan harta kekayaan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Bukittinggi, Rahmat Afrisyaf Elsa, memunculkan tanda tanya publik setelah data LHKPN yang dilaporkan ke KPK menunjukkan kenaikan hampir setengah miliar rupiah dalam rentang lima tahun.
Berdasarkan laporan LHKPN:
Tahun 2019: Rp 605.172.373, Per 31 Desember 2024: Rp 1.095.625.692. Terdapat selisih peningkatan harta sebesar Rp 490.453.319 atau 81,04%. Kenaikan tersebut terutama berada pada sektor tanah dan bangunan, serta bertambahnya aset kendaraan berupa Toyota Rush keluaran 2021.
Berita sebelumnya :
Penjelasan Kadis PUPR: “Karena NJOP Naik Tiap Tahun”
Saat dikonfirmasi, Rahmat menyampaikan bahwa kenaikan harta tersebut bukan karena pembelian aset baru, melainkan penyesuaian nilai tanah berdasarkan kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang mengalami revisi setiap tahun.
“Harga NJOP tanah naik tiap tahun. Jadi nilai pada LHKPN mengikuti penyesuaian itu,” jelas Rahmat.
Namun, analisis data menunjukkan bahwa tidak semua kenaikan bisa dijelaskan oleh NJOP, karena ada aset kendaraan baru dan peningkatan nilai harta di luar properti.
Rata-rata kenaikan harta sebesar Rp 8.174.222 per bulan, sementara kemampuan menabung wajar ASN eselon II rata-rata maksimal Rp 4–7,7 juta per bulan. Dengan demikian, sebagian peningkatan harta masih membutuhkan penjelasan sumber pendanaan yang lebih detail.
Ketua LMR RI Sumbar Soroti Kewajaran dan Legalitas Sumber Harta
Ketua LMR RI Sumatera Barat, Sutan Hendy Alamsyah, menegaskan bahwa keterbukaan asal-usul harta pejabat adalah kewajiban hukum.
“Sumber peningkatan harta itu harus ditelusuri. Apakah benar berasal dari pendapatan yang legal atau malah sebaliknya. Seorang pejabat publik tidak boleh memiliki kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya,” tegasnya.
Sutan Hendy mengingatkan bahwa pelaporan LHKPN diatur oleh UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, serta Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang LHKPN.
Ia menegaskan bahwa jika terbukti laporan kekayaan direkayasa, konsekuensinya bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi bisa masuk ranah pidana.
“Kalau LHKPN tidak sesuai fakta atau sengaja dimanipulasi, itu bisa mengarah pada gratifikasi, suap, sampai tindak pidana korupsi. UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 jelas mengatur, dan sanksinya bisa berupa pidana penjara,” ujarnya.
Desakan Audit Investigatif
LMR RI meminta agar Inspektorat, BPK dan KPK melakukan verifikasi faktual dan audit investigatif terhadap sumber dana pembelian aset, peningkatan nilai kekayaan, serta data pendukung pembiayaan kendaraan.
“Ini bukan soal menyerang individu. Ini tentang transparansi dan akuntabilitas pejabat publik. Pengawasan adalah hak masyarakat,” tutup Sutan Hendy.
Media akan terus melakukan penelusuran, termasuk pemeriksaan dokumen NJOP tahunan, skema pembelian kendaraan dan potensi keterkaitan dengan paket pekerjaan konstruksi.
#TIM



Tidak ada komentar:
Posting Komentar