Jakarta (LN) – Penyitaan 42 ribu ton mineral senilai Rp216 miliar oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) di gudang pabrik PT Mutiara Prima Sejahtera, Bangka Belitung, membuka fakta baru soal bagaimana aset terpidana korupsi timah, Tamron alias Aon, sempat “lolos radar” penyidik selama proses hukum berjalan.
Temuan itu bukan hasil penyidikan reguler, melainkan bermula dari operasi Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang menemukan tumpukan mineral dalam jumlah masif. Setelah ditelusuri, barulah diketahui bahwa seluruh kandungan tersebut terkait dengan Aon—sosok yang dikenal sebagai beneficial owner CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia.
“Tim Pidsus sudah melakukan penyitaan eksekusi karena perkaranya sudah inkrah. Ini bagian dari upaya pengembalian kerugian negara,” ungkap Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, Kamis (2/10).
Mengapa Baru Terungkap?
Pertanyaan krusial muncul: bagaimana mungkin aset senilai ratusan miliar rupiah ini baru terdeteksi setelah Aon divonis 18 tahun penjara?
Keterangan resmi Kejagung menyebutkan bahwa aset tersebut tidak muncul dalam tahap penyidikan awal. “Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata memang milik yang bersangkutan. Tracking aset terus kami lakukan, dan ditemukan 42 ribu ton mineral ini,” kata Anang.
Fakta ini memperlihatkan adanya celah dalam mekanisme penelusuran aset (asset tracing) yang seharusnya dilakukan lebih komprehensif sejak awal. Bagi pengamat hukum, temuan belakangan ini bisa jadi indikator kuat bahwa ada aset-aset lain yang masih tersembunyi di jaringan bisnis para pelaku.
Korporasi dan Jaringan Besar Timah Ilegal
Kasus ini bukan hanya soal Tamron seorang. Kejagung sudah menetapkan 22 tersangka individu dan 5 korporasi sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam skandal tata niaga timah PT Timah Tbk periode 2015–2022.
Daftar korporasi itu antara lain:
- PT Refined Bangka Tin (RBT)
- PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS)
- PT Stanindo Inti Perkasa (SIP)
- PT Tinindo Inter Nusa (TIN)
- CV Venus Inti Perkasa (VIP) – perusahaan yang dikaitkan langsung dengan Aon.
Skema yang dibongkar penyidik mengarah pada persekongkolan antara pemilik izin, pembeli, dan penyelundup. Mereka memanfaatkan kelemahan regulasi serta lemahnya kontrol di lapangan. Dugaan kuat, transaksi dilakukan dengan harga lebih tinggi tanpa kajian, membuka peluang mark-up, hingga mengakibatkan kerugian negara Rp300 triliun.
Di luar kerugian keuangan, kerugian ekologi dari penambangan ilegal menjadi luka lebih dalam. Kawasan hutan di Bangka Belitung mengalami kerusakan serius akibat eksploitasi. Satgas PKH yang menemukan tumpukan mineral itu menegaskan bahwa penambangan di kawasan hutan lindung masih marak, diduga melibatkan jejaring lama yang belum seluruhnya terungkap.
Ekonom lingkungan menilai, angka kerugian Rp300 triliun belum memasukkan valuasi kerusakan ekosistem secara penuh. Jika dihitung dengan standar valuasi ekologi internasional, angka tersebut bisa jauh lebih besar.
Kejagung menyatakan hasil sitaan akan diserahkan ke negara melalui PT Timah Tbk untuk dikelola dan diekspor. Namun mekanisme pengelolaan aset sitaan ini patut diawasi ketat.
Kasus Tamron alias Aon membuka peta besar praktik timah ilegal yang menggurita. Satu demi satu aset disita, tetapi indikasi kuat masih banyak “tambang hantu” yang belum tersentuh hukum.
Pertanyaannya kini bukan hanya soal berapa lama Aon dipenjara, tapi: apakah negara benar-benar mampu mengembalikan ratusan triliun kerugian, dan menutup keran bisnis gelap timah yang selama ini diduga melibatkan jejaring elit politik hingga korporasi besar?
#red



Tidak ada komentar:
Posting Komentar