SUMBAR (LN)---Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) kembali merebak di Kabupaten Solok. Praktisi hukum Mevrizal menilai kondisi ini mencerminkan lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum, padahal aturan untuk menindak pelaku sudah sangat tegas.
“Ini bukan sekadar masalah ekonomi atau sosial, tetapi problem serius dalam penegakan hukum. Instruksi Presiden tentang pemberantasan PETI seolah hanya berhenti di atas kertas,” ujar Mevrizal, alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas, Senin (8/9/2025).
Menurutnya, maraknya PETI menunjukkan crisis of compliance—norma hukum diabaikan oleh aparat negara sendiri. Pasca revisi UU Minerba, meski kewenangan perizinan ditarik ke pusat, pemerintah daerah tetap wajib menjaga ketertiban umum dan kelestarian lingkungan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014.
“Faktanya, Pemda terkesan lepas tangan. Pengawasan minim, koordinasi tidak jalan, akhirnya PETI kembali tumbuh subur,” tegasnya.
Perusakan Lingkungan Kian Parah
Secara hukum, PETI melanggar Pasal 158 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar. Selain itu, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga dapat menjerat pelaku dengan pasal perusakan lingkungan, bahkan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
“PETI bukan hanya merugikan negara dari sisi pajak dan sumber daya alam, tapi juga menghancurkan ekosistem. Sungai tercemar merkuri, tanah gundul, hutan kehilangan fungsi ekologis. Kerusakan ini akan diwariskan ke generasi berikut,” jelas Mevrizal.
TNI–Polri Diminta Tidak Tutup Mata
Mevrizal menilai TNI dan Polri tidak boleh sekadar jadi penonton. TNI memiliki tanggung jawab moral menjaga wilayah teritorial dari eksploitasi ilegal, sementara Polri wajib menegakkan hukum pidana.
“Kalau TNI dan Polri sungguh-sungguh turun tangan, jaringan PETI bisa diputus. Namun yang terjadi, masyarakat justru melihat adanya pembiaran. Bahkan muncul dugaan ada oknum aparat yang bermain di balik layar,” ungkapnya.
Sebagai contoh, dalam Putusan PN Solok Nomor 13/Pid.Sus/2025/PN Slk, seorang terdakwa divonis delapan bulan penjara, denda Rp1 miliar, serta perampasan alat berat. Namun penindakan semacam itu jarang berlanjut. “Kalau aparat hanya bergerak sesekali, efek jera tidak akan pernah muncul,” ujarnya.
Tegasnya Presiden Prabowo
Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk memberantas praktik pertambangan ilegal yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah. Dalam pidato Sidang Tahunan MPR RI (15/8/2025), Prabowo berjanji akan menertibkan 1.063 titik tambang ilegal dan memperingatkan keras pihak-pihak yang membekingi PETI.
“Saya beri peringatan apakah ada orang-orang besar... jenderal-jenderal dari manapun. Apakah jenderal dari TNI atau jenderal dari polisi... kami akan bertindak atas nama rakyat.
Saya sudah perintahkan Panglima TNI dan Kapolri, jangan sampai ada anak buahmu di kebun-kebun itu. Walaupun kau Gerindra, tidak akan saya lindungi,” tegas Presiden Prabowo.
Sebelumnya, pada Maret 2025 di Gresik, Presiden juga menyatakan praktik pertambangan ilegal dan penyelundupan harus ditindak tegas.
Solusi Hukum dan Jalan Keluar
Mevrizal menyebutkan tiga solusi utama agar pemberantasan PETI tidak sekadar slogan:
1. Penegakan hukum yang konsisten dan transparan.
2. Pemidanaan tidak hanya terhadap pekerja lapangan, tetapi juga aktor intelektual dan korporasi di balik PETI.
3. Penyediaan alternatif ekonomi legal bagi masyarakat yang bergantung pada tambang ilegal.
Tragedi longsor di tambang ilegal Nagari Sungai Abu pada 2024 yang menewaskan 13 orang seharusnya jadi alarm nasional. “Sayangnya, peristiwa itu cepat dilupakan. PETI tetap marak, yang disasar hanya operator kecil, sementara pemain besar aman. Akibatnya, perusakan lingkungan terus berjalan tanpa ada upaya serius menghentikannya,” pungkas Mevrizal.
#red
Tidak ada komentar:
Posting Komentar