Proyek pemerintah yang mestinya menjawab kebutuhan masyarakat, lagi-lagi berakhir dengan kekecewaan. Jalan baru rusak sebelum dipakai, drainase dangkal dan tak berfungsi, bangunan sekolah retak padahal baru diresmikan. Pola ini bukan sekali dua kali terjadi, melainkan berulang tahun demi tahun.
Dari penelusuran, akar masalah bukan sekadar kesalahan teknis di lapangan, melainkan sudah menjadi rekayasa sistematis yang melibatkan pelaksana, pengawas, hingga pejabat teknis. Semua terikat dalam permainan “fee” dan praktik seving yang menyingkirkan kepentingan publik.
Tahap awal sudah diwarnai negosiasi di luar mekanisme resmi. Harga penawaran memang disesuaikan agar tampak kompetitif, namun pada kenyataannya hanya formalitas. Di belakang layar, kontraktor sudah bersepakat memberikan “komitmen fee” kepada oknum pejabat agar bisa mulus mendapatkan proyek.
Akibatnya, yang menang bukan kontraktor terbaik, melainkan yang paling berani memberikan setoran. Dari sini, kualitas sudah bisa ditebak. Proyek dipandang sebagai “modal yang harus dikembalikan”, bukan amanah publik.
Bahkan, setelah kontrak ditandatangani, pelaksana mulai menjalankan “strategi penghematan” agar tetap untung besar meski sudah membagi fee.
Dengan trik kotor, mengurangi volume pekerjaan. Cor beton yang seharusnya 20 cm, dicetak hanya 12–15 cm.
Mengganti material dengan kualitas rendah. Aspal AC-WC diganti campuran seadanya. Besi tulangan diameter 12 mm diganti 10 mm.
Item fiktif, Laporan menyebut drainase 500 meter, tapi di lapangan hanya 350 meter.
Semua ini jelas merugikan negara, tetapi tetap berjalan mulus. Kenapa? Karena pengawas lapangan seakan tak melihat.
Di sinilah permainan kotor terjadi. Pengawas yang seharusnya menjadi mata negara di lapangan, justru berubah menjadi perisai kontraktor. Ketika pekerjaan menyimpang dari spesifikasi, bukan teguran yang keluar, melainkan kompromi.
PPK/PPTK pun tidak lebih baik. Mereka larut dalam bujuk rayu komitmen fee. Alhasil, fungsi pengawasan berubah menjadi transaksi: “yang penting setoran lancar, berkas aman.”
Opname pekerjaan yang seharusnya menjadi alat evaluasi kualitas hanya tinggal formalitas. Dokumen direkayasa, volume ditulis penuh, progres dicatat rampung 100 persen, dan tanda tangan pengesahan lengkap. Padahal di lapangan, hasilnya jauh dari standar.
Inilah puncak permainan, opname palsu sebagai kamuflase. Semua laporan tampak sempurna, seakan proyek sudah dikerjakan sesuai aturan. Padahal kenyataan berbanding terbalik.
Contoh nyata yang kerap ditemukan dalam berbagai proyek, seperti jalan yang baru selesai, dalam hitungan bulan sudah berlubang.
Saluran air dangkal dan cepat tersumbat, meski di dokumen tertulis sesuai gambar kerja, dan Gedung retak meski peresmian baru saja dilakukan.
Semua itu adalah bukti bahwa opname hanya dijadikan tameng untuk melindungi rekayasa. Audit lembaga resmi pun kerap menemukan kerugian negara, ditemukannya selisih volume, kualitas di bawah standar, hingga pekerjaan fiktif.
Hal itu dipicu karena pejabat teknis sudah lebih mementingkan fee daripada integritas, maka proyek apapun akan gagal sejak awal. Kontraktor berpikir untuk menutup modal setoran, pengawas mengabaikan fungsi kontrol, PPK/PPTK hanya sibuk tanda tangan.
Lingkaran setan ini merampas hak masyarakat. Rakyat hanya mendapat infrastruktur murahan, cepat rusak, dan tidak bisa dinikmati. Negara kehilangan miliaran rupiah setiap tahun, sementara pelaku bersembunyi di balik dokumen resmi.
Rekayasa laporan dan opname palsu bukan lagi sekadar kelalaian, melainkan bentuk persekongkolan jahat. Ini bukan kesalahan teknis, tapi kejahatan terstruktur.
Penegak hukum tidak boleh hanya menunggu laporan audit. Setiap indikasi rekayasa harus ditindak, karena kerugian negara nyata dan berulang. Pengawasan independen juga harus diperkuat, agar opname tidak lagi sekadar formalitas.
Jika praktik ini terus dibiarkan, proyek pembangunan akan terus lahir sebagai proyek gagal. Rakyat tetap jadi korban, sementara negara terus dirampok lewat modus legalisasi laporan palsu.
#Penulis: Fitrahtul. H. Djohor (Pimpred Media Laksus News)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar