Jakarta (LN) – Di balik besarnya kucuran dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah, tersembunyi praktik-praktik gelap yang berpotensi merugikan rakyat. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian blak-blakan mengungkap bagaimana anggaran yang seharusnya untuk pembangunan justru kerap dijadikan “bancakan” oleh elite daerah.
“Begitu dana transfer masuk ke APBD dan dibahas dengan DPRD, sering terjadi tarik-menarik kepentingan. Checks and balances itu idealnya bagus, tapi praktik di lapangan sering berubah jadi ajang kolusi politik,” kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/9/2025).
Pola Lama, Aktor Baru
Pola penyalahgunaan dana bukan hal baru. Investigasi LN menemukan bahwa sebagian besar kasus bermula saat pembahasan pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD. Anggaran yang semestinya dialokasikan untuk layanan dasar kerap “dibajak” untuk proyek siluman atau dibagi rata demi kepentingan politik lokal.
Kasus DPRD Sumatera Utara menjadi contoh paling mencolok. Hampir seluruh anggota dewan terseret kasus suap terkait pembahasan anggaran beberapa tahun lalu. Fenomena serupa kini kembali mencuat di daerah lain, dari Jambi hingga Papua Barat.
“Bedol desa DPRD bukan cerita lama, tapi masih terjadi hingga hari ini. Itu menunjukkan lemahnya sistem pengawasan,” ujar seorang mantan pejabat inspektorat daerah yang enggan disebut namanya.
Ketidakpercayaan pada Daerah
Tito mengakui bahwa praktik kotor tersebut menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah daerah. “Ada ketidakpercayaan penuh kepada daerah karena pola bancakan ini berulang,” tegasnya.
Kondisi ini memperkuat persepsi publik bahwa dana transfer lebih banyak “menguap” di meja politikus ketimbang turun ke lapangan. Jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, sekolah ambruk, hingga layanan kesehatan minim, menjadi bukti konkret dampak bocornya anggaran.
Solusi Pusat: Efisiensi dan Diferensiasi
Untuk memutus lingkaran setan korupsi anggaran, pemerintah pusat kini menerapkan strategi efisiensi. Salah satunya dengan mengusulkan skema transfer yang tidak disamaratakan.
“Daerah dengan PAD besar, seperti DKI Jakarta atau daerah kaya sumber daya, bisa dikurangi porsinya. Sementara daerah miskin PAD tetap kita prioritaskan,” jelas Tito.
Namun, efektivitas langkah ini masih dipertanyakan. Sebab, tanpa perbaikan mekanisme kontrol dan sanksi tegas, dana transfer berpotensi tetap menjadi “ladang empuk” bagi kepentingan politik lokal.
Pertarungan Panjang
Pemerintah pusat berupaya mengoreksi kebijakan, tetapi mafia anggaran di daerah sudah mengakar. Setiap tahun, miliaran rupiah yang seharusnya untuk rakyat justru menguap dalam praktik kolusi.
Pertarungan antara idealisme pembangunan dan pragmatisme politik masih jauh dari kata usai. Dan selama mekanisme transfer dana tidak dibarengi pengawasan ketat, rakyat kecil akan terus jadi korban paling nyata.
#red



Tidak ada komentar:
Posting Komentar