PADANG (LN) – Kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung DPRD Kota Padang menyeret nama kontraktor pelaksana PT Nindya Karya (Persero). Proyek dengan nilai kontrak fantastis Rp129.198.063.082,78 (sekitar Rp129,2 miliar) ini dibiayai dari APBD Kota Padang tahun 2021-2023.
Pekerjaan konstruksi dipercayakan kepada PT Nindya Karya (Persero), sementara PT Artefak Arkindo (Persero) ditunjuk sebagai konsultan manajemen konstruksi dengan kontrak sebesar Rp3.469.266.150,-.
Baca berita terkait lainnya,
Namun di balik megahnya proyek itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI justru menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp2,2 miliar, yang diduga kuat berasal dari penyimpangan pelaksanaan proyek.
Kronologi yang Janggal
Gedung DPRD Padang dibangun dengan biaya jumbo Rp129,2 miliar. Proyek ini digadang sebagai simbol baru pusat legislasi kota.
Akan tetapi, dari hasil audit BPK RI menemukan kerugian negara Rp2,2 miliar. Rekomendasi pun dikeluarkan, dengan kewajiban pengembalian maksimal 60 hari.
Bahkan, Polda Sumbar melalui surat Ditreskrimsus Polda Sumbar bernomor: B/337/III/RES.3.3/2024/Ditreskrimsus, tertanggal 19 Maret 2024, penyidik telah melakukan pemanggilan Kepala Dinas PUPR Padang untuk hadir pada Jumat, 22 Maret 2024, di Lantai V Ruang Subdit III/Tipikor Ditreskrimsus Polda Sumbar.
Terkait hal itu, Kasubdit III Krimsus Polda Sumbar, Kompol Ismawansah, saat dikonfirmasi via telepon selular (3/4), membenarkan adanya pemanggilan terhadap Kadis PUPR Padang.
Dari pemanggilan itu, akhirnya dilakukan pengembalian secara cicilan. Setoran terakhir sebesar Rp1,159 miliar pada 25 Juli 2025. Total pengembalian sebesar Rp2,2 miliar ke kas negara, tapi melewati tenggat waktu 60 hari.
Anehnya, kasus mendadak senyap meskipun sudah ada pemanggilan resmi dari Polda, perkembangan kasus ini kemudian mandek tanpa ada kejelasan.
Publik pun bertanya, apakah pengembalian kerugian negara dijadikan alasan untuk mempetieskan perkara?
Dugaan adanya "Main Mata"
Informasi yang diterima redaksi menyebut, kasus ini disinyalir dimainkan. Kontraktor pelaksana diduga menyetor sejumlah uang untuk memastikan proses hukum tidak berlanjut.
Jika benar, maka bukan hanya uang negara yang dijadikan bancakan, tapi juga integritas aparat penegak hukum ikut dipertaruhkan.
Hukum Jelas, Tapi Tak Ditegakkan
Aturan jelas menyebut, Pasal 4 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001):
“Pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan.”
Dengan demikian, meskipun Rp2,2 miliar telah dikembalikan, unsur pidana tetap ada. Terlebih lagi, pengembalian yang melewati tenggat justru menguatkan indikasi pelanggaran.
Pejabat Terkait Bungkam
Redaksi mencoba meminta tanggapan Wali Kota Padang, Fadly Amran, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada jawaban resmi. Publik mendesak wali kota agar tidak menutup mata.
Sementara itu, Kepala Dinas PUPR Padang, Tri Hadiyanto, juga tidak memberikan komentar terkait pengembalian kerugian negara maupun status hukum proyek ini.
Desakan Masyarakat Sipil
Ketua Pekat IB Kota Padang, Boby, menilai kasus ini tidak boleh berhenti hanya karena uang negara sudah kembali. Ia meminta aparat penegak hukum (APH) bersikap transparan dan profesional.
“Publik butuh kejelasan, jangan sampai kasus ini dimainkan. Kalau aparat hukum tidak transparan, kepercayaan masyarakat akan runtuh,” tegas Boby.
Transparansi Diuji
Kasus ini menjadi cermin buram bagaimana uang rakyat dikelola. Uang memang sudah kembali ke kas negara, tetapi proses hukum yang kabur justru memunculkan aroma busuk.
Kasus ini menimbulkan Pertanyaan Publik :
1. Mengapa Krimsus Polda Sumbar membiarkan kasus ini senyap?
2. Mengapa Pemkot Padang tak bersikap tegas terhadap keterlambatan dan dugaan permainan?
3. Apakah hukum masih berpihak pada rakyat, atau telah dijualbelikan di meja gelap?
Selama pertanyaan itu dibiarkan tanpa jawaban, skandal Gedung DPRD Padang hanya akan tercatat sebagai preseden buruk: proyek korupsi yang bisa dibeli dengan pengembalian uang, tanpa keadilan.
#Tim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar