Profesi jurnalis adalah profesi mulia. Ia bukan sekadar pekerjaan mencari nafkah, melainkan jalan pengabdian untuk mencerdaskan bangsa dan mengawal kebenaran. Dari pena dan kameranya, lahir informasi yang dapat membuka mata masyarakat, membentuk opini publik, bahkan mengubah arah sejarah. Karena itu, jurnalis sejati sesungguhnya adalah guru masyarakat, penjaga nurani, sekaligus pengawal demokrasi.
Namun, kemuliaan itu kerap ternoda oleh perilaku menyimpang. Ketika seorang jurnalis abai terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ), maka ia bukan lagi pelita, melainkan justru bayangan gelap yang menyesatkan. KEJ adalah pagar moral, dan tanpa pagar itu, profesi jurnalis kehilangan ruhnya.
Tidak heran, lahirlah istilah “wartawan bodrek” atau “wartawan tanpa surat kabar (WTS)”.
Istilah ini muncul bukan tanpa sebab, melainkan sebagai cermin dari realitas bahwa ada orang-orang yang mengaku wartawan, tetapi sejatinya hanya menjadikan profesi ini sebagai kedok untuk kepentingan pribadi. Mereka bukan menulis demi kebenaran, melainkan demi keuntungan. Mereka bukan mengawal publik, melainkan menodai publik dengan berita murahan dan kepentingan sesaat.
Lebih ironis lagi, ada yang menjadikan identitas wartawan sebagai senjata untuk menekan, bukan untuk menyuarakan kebenaran. Ada yang memelintir fakta, bukan demi keberimbangan, melainkan demi amplop. Padahal, setiap kalimat yang ditulis, setiap gambar yang dipublikasikan, sesungguhnya membawa tanggung jawab besar menjaga marwah profesi sekaligus menjaga kepercayaan publik.
Jurnalis sejati tidak diukur dari tebalnya kartu pers, luasnya akses, atau lantangnya bicara. Jurnalis sejati lahir dari integritas, dari keberanian menulis yang benar meski melawan arus, dari kesetiaan pada fakta meski dihadapkan pada tekanan. Jurnalis sejati tidak mudah terbeli, tidak mudah tergoda, dan tidak mudah diarahkan oleh kepentingan yang kotor.
Hari ini, publik semakin cerdas menilai. Mereka tahu mana karya jurnalistik yang lahir dari nurani, dan mana yang sekadar lahir dari pesanan. Masyarakat tidak butuh wartawan yang sibuk menempelkan label profesi di dadanya, tetapi miskin karya yang bermakna. Yang dibutuhkan adalah jurnalis yang menyalakan obor kebenaran, bukan menjualnya.
Jika profesi ini ingin kembali berwibawa, maka jawabannya sederhana: setiap jurnalis harus berani bercermin pada dirinya sendiri. Apakah ia masih teguh berpegang pada KEJ, ataukah sudah tergelincir menjadi bagian dari mereka yang membuat istilah “wartawan bodrek” itu terus hidup?
Sebab, pada akhirnya, marwah profesi ini hanya akan tegak oleh individu-individu yang menjunjung tinggi integritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar