Lima Puluh Kota (LN) — Pembangunan Jembatan Lubuak Nago yang bersumber dari Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit 2024 kini menjadi sorotan tajam publik.
Proyek yang dikerjakan PT. Amar Permata Indonesia (API), seharusnya selesai tepat waktu justru mengalami keterlambatan selama 20 hari, terhitung hingga 19 Desember 2024. Berdasarkan estimasi perhitungan sesuai regulasi, keterlambatan tersebut berpotensi memunculkan kewajiban denda senilai sekitar Rp69,91 juta.
Namun, sebagaimana dilansir dari Mitra Rakyat, penelusuran dokumen yang dilakukan media ini tidak menemukan adanya surat resmi atau berita acara penetapan denda oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ketiadaan dokumen tersebut memunculkan tanda tanya besar.
Apakah ini bentuk kelalaian administrasi, atau justru indikasi pembiaran yang disengaja agar pihak rekanan lolos dari kewajiban membayar denda?
Padahal, regulasi mengatur secara tegas kewajiban menjatuhkan denda. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang telah diubah melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2021, Pasal 78 ayat (5) menyebutkan:
“Penyedia yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 dari nilai kontrak atau bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan.”
Tak hanya itu, Pasal 93 Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 memperkuat ketentuan ini dengan mewajibkan PPK menjatuhkan denda tanpa pengecualian, apapun alasannya. Artinya, mengabaikan penetapan denda tidak hanya menyalahi aturan administrasi, tetapi juga membuka peluang masuknya unsur tindak pidana korupsi.
Jika dugaan kolusi antara penyedia jasa dan pejabat pelaksana terbukti, para pihak yang terlibat dapat dijerat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini mengatur ancaman hukuman yang sangat berat: pidana penjara seumur hidup atau penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda hingga Rp1 miliar.
Kondisi ini semakin memperkuat persepsi publik bahwa ada permainan di balik layar dalam pengelolaan proyek infrastruktur daerah. Publik patut bertanya.
Mengapa denda yang sudah diatur jelas oleh peraturan perundang-undangan tidak diterapkan? Apakah ada campur tangan pihak tertentu untuk “mengamankan” rekanan?
Hingga berita ini dirilis, Dinas PUPR Kabupaten Lima Puluh Kota belum memberikan keterangan resmi, baik untuk membantah maupun membenarkan dugaan tersebut. Mitra Rakyat telah berupaya meminta konfirmasi melalui berbagai saluran, namun belum ada jawaban yang diberikan.
Masyarakat kini menanti langkah tegas aparat penegak hukum untuk memeriksa dokumen kontrak, berita acara serah terima pekerjaan, hingga proses pengawasan proyek ini. Sebab, jika benar terjadi pembiaran dan kolusi, maka kerugian yang ditimbulkan bukan hanya dari hilangnya potensi denda, tetapi juga kerusakan kepercayaan publik terhadap transparansi dan integritas pengelolaan anggaran negara.
Hingga berita ditayangkan media ini masih mengumpulkan data, menggali fakta, dan menghadirkan perkembangan terbaru dari kasus ini.
Tunggu liputan investigasi berikutnya.
#LN01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar